Rabu, 27 Februari 2019

BERGURU itu BARU MENGAJI

Ini benar-benar terjadi. Suatu waktu kami berbincang dengan seorang teman yang ternyata dia senang sekali mengaji / mengkaji ilmu, bagus sekali kesenangannya, tapi sayangnya mengajinya dengan buku terjemah dan tanpa guru, bukunya terjemah hadits bukhari, yang dari perbincangan itu diketahui bahwa dia telah memahami hadits dengan benar secara tekstual tapi tidak mengetahui asbabul wurudnya (sebab munculnya tsb) yang sehingga pemahamannya salah (yang halal jadi haram) dan itu telah dia ajarkan pada orang lain, dan ngaji yang seperti ini yang dikritisi (tidak diperbolehkan) oleh para ulama', karena kalau mengaji tanpa berguru maka gurunya adalah syetan, karena dia mengira pemahamannya benar dan ternyata terjerumus pada pemahaman yang salah.
   Ada ulama yang berfatwa bahwa mengaji kitab kuning hasil ijtihad para ulama' walaupun sudah tidak tertulis lagi al-quran dan haditsnya itu sama dengan mengaji al-quran dan hadits, mengapa? Karena kitab kuning itu hasil ijtihad para ulama' yang rujukannya bersumber dari al-quran dan hadits, sehingga kita sebagai orang awam yang minim akan ilmu ini (dan mungkin mustahil untuk dapat sampai ke derajat mujtahid) sudah seyogyanya untuk mengikuti para mujtahid melalui para syech guru kita sehingga sedapat mungkin kita terhindar  dari pemahaman yang salah.
Hasil perbincangan :
- yang halal menjadi haram
- cara bersuci mandi yang tidak sempurna (tidak sah)
Kalau mandi besarnya tidak sah, lalu bagaimana dengan shalatnya? Maka dari itu marilah kita mencari ilmu dengan guru sehingga ada yang menuntun kita, guru itu merupakan lentera penerang bagi kita yang masih buta ini yang akan menuntun kita menuju jalan yang terang benderang penuh ridlo ilaahi.